sumber:
Rumahykp, MalaysiaFaridah memperlihatkan kemampuannya memanfaatkan simbol alam yang sangat kuat. Suasana batin yang begitu menggetarkan tampak sangat terasa dalam puisinya yang sangat ekspresif. Untuk menjaga keutuhannya, puisi 'sang ibu yang kehilangan anak' ini pun diturunkan sepenuhnya.
100 HARI ENGKAU KUNANTI(Untuk putraku: Husni Taufik)
kukirim salam untukmu
ketika fajar mulai merekah
bibir ini mendesah membisikkan namamu
kukirim salam untukmu
ketika malam tanpa cahaya
bibir ini bergetar menyebut namamu
rinduku padamu ananda
seratus hari tanpa berita
di laut manakah engkau merendam tawa
di pulau manakah engkau membukit senda
langitku yang biru samakah
dengan langitmu
adakah rinduku sama dengan rindumu
di sini aku menanti dalam rindu yang ngilu
dalam pasrah tanpa gelisah
dalam doa tanpa suara
Banda Aceh, April 2005Dalam puisi itu, tampak bagaimana keteguhan iman Faridah menyikapi apa yang terjadi pada anaknya yang hilang dalam tsunami. Sebuah kerinduan sang ibu tampak mengen-tal dalam baris-baris puisi; sesuatu yang tak bisa disembunyikan oleh seorang wanita yang melahirkan sang anak: adakah rinduku sama dengan rindumu. Namun, Faridah yakin bahwa batas antara kerinduan semu dan penantian kepulangan putranya ada /...dalam pasrah tanpa gelisah/dalam doa tanpa suara.